Malam ini terlalu cerah. Hingga tak kudapati sebulir hujanpun sepanjang jalan menuju rumah sepulang kerjaku. Biasanya, hujan selalu mampu menyegarkan ingatanku tentangmu. Tentang waktu dimana hampir disetiap detiknya selalu berusaha kususun dengan ungkapan kasih manakala tengah bersamamu. Mungkin hanya hujanlah satu-satunya hal yang seringkali hadir, merestui rekahan kasih antara kita. Tapi ternyata, malam ini aku tak memerlukan air yang jatuh dari langit itu. Ingatanku segar menciumi segala hal tentangmu.
Udara putih yang tampak disepanjang jalanku menuju rumah, entah itu asap, kabut, atau apapun namanya. Mengingatkan aku pada malam dimana kau berucap "pokoknya aa mesti nyobain yang namanya maranggi,". Udara dingin, gelap telah sepenuhnya sampai menyentuh permukaan tanah. Malam itu kita berada di Cianjur. Sebagian pakaiankupun masih terasa basah, sisa dari perjalanan yang berakhir dengan datangnya guyuran hujan lebat di sore harinya. Irisan daging sapi yang tersaji dalam tusukan kayu itu menjadi alasan tunggal untukmu bisa pergi keluar rumah untuk menemuiku. maranggipun tersaji. "nah ini a yang namanya maranggi," jelasmu ketika makanan itu telah siap tersaji. Akhhh... Kau pikir aku peduli dengan makanan itu? Aku hanya ingin kau. Ingin sebisa mungkin menikmati kebersamaan kita. Neng sareng aa, malam ini. Aku lebih memilih diam memandangi wajahmu itu. Andai malam itu bisa kuhabiskan lebih banyak waktu bermamu. Detik terus berjalan. Maranggipun segera habis, dan lamunku memudar mengiringi kepulan asapnya yang pergi entah kemana. Cianjur, untuk kali pertamanya aku sengaja singgah di kota itu. Karenamu.